Kamis, 19 Januari 2012

SHORT STORY 2

PHIL PERRY DI PASAR INPRES DEPOK


       Hari ke 27 Romadhon, tengah malam. Perut lapar tetapi terlalu prematur untuk mulai ritual sahur. Nasib yang merogoh saku dan mengeluarkan uang yang cuma sedikit dan yang juga memberitahukan persediaan dapur tinggal segenggam beras dan garam. Nasib pula yang menyeretku berhadapan dengan segelas coklat ovaltine dan kue pancong dibelakang pasar. Seremonial untuk cacing- cacing diperutkupun dimulai. Tidak perduli aroma sampah busuk dan kumuhnya pasar inpres, pukul 1 pagi tempat itu dikunjungi penarik becak dan beberapa pedagang. Mungkin mereka menanti para boss mereka datang dari pasar Induk membawa material dagangan. Mungkin juga mereka sama seperti aku, sekedar membungkam kegelisahan hati dan lambung dengan minuman dan cemilan hangat. Dua tegukan coklat melemahkan pertanyaan tentang kabarnya Skenario dan Novelku di negeri Paman Sam sana. Sekali lagi tegukan meredam keingintahuan apakah perlu rencana untuk esok. Seperti biasanya, kembali contekan pengalaman mengingatkanku "hiduplah dengan mengalir apa adanya, yang penting kita tahu dimanakah perhentian terakhir itu".

       Pada saat kue pancong ke dua mulai pasrah menuju mulut, seorang Penarik Becak Kurus bertanya dengan letupan semangat kepada seorang Pedagang Ayam bertubuh gemuk," Masa sih, kamu tidak mudik? Memangnya Lebaran masih ada orang membeli ayam?"  
     " Aku tidak pernah berjualan di hari Lebaran." Jawab si Gemuk sambil menghembuskan nikotin ke udara.        " Lha? Lalu mau apa kamu di pasar? Kan lebih baik pulang ke kampung." Komentar si Kurus angkuh.  
     " Karena tidak ada tempat tinggal lagi selain di pasar. Lagipula aku lebih suka tidur di atas kurungan ayam dari pada harus pulang kampung," jawab si Gemuk tersenyum sebagai usahanya menimbulkan kesan bahwa pertanyaan si Kurus itu lucu. Sudah jelas bertahun- tahun sudah ia tidak punya tempat tinggal lain kecuali di Los jualannya.
      " Jangan begitulah," tanggap si Kurus dengan dialek Tegalnya yang kental," Memangnya kamu tidak mau ketemu orang tua, anak dan keluarga?" Si Gemuk tidak menjawab, ia malah asyik memijat- mijat tombol Telepon Selular murahannya.
       " Lebaran itu penting lho, Kang. Lagipula untuk siapa kita bekerja mati- matian siang malam kalau uang itu bukan untuk keluarga?"  " Aku tidak punya orang tua, saudara, isteri apalagi anak."
       " Pantas!" Tanggap si Kurus cepat dan mengkal.
     " Kamu salah, Kang. Sama seperti orang miskin lainnya. Lebaran dianggap sebagai waktunya unjuk ekonomi, saatnya mengukur keberhasilan, saatnya berharap yang tidak semestinya terjadi malah kita jadikan harapan. Lebaran juga di jadikan pemuasan nafsu kegembiraan yang berlebihan, kebahagiaan yang semu, penyuburan kemunafikan. Wajah harus ceria padahal kegetiran menyertai ingatan bahwa betapa kian berat beban hidup setelah hari ini." Gerutu si Gemuk yang membuat aku tersedak dan si Kurus melongo.

      Dalam sekejap aku tidak percaya kalau si Gemuk itu cuma pedagang ayam biasa. Mungkin dia mahasiswa yang menyamar. Bahasa begitu tajam dan kritis. Atau mungkin dia pedagang ayam sungguhan tetapi PHK membalikan hidupnya 180 derajat dari seorang karyawan terpelajar menjadi pedagang ayam yang beraroma sengit. Entahlah, yang mana yang benar.
       " Aku tidak mengerti maksudmu, Kang? Padahal di hari Lebaran itu kita menunjukan kasih sayang dan cinta terhadap keluarga dan kerabat." Tanya si Kurus dengan nada benci.
       " Itulah! Rasa sayang selalu saja di isi dengan tata cara dan benda- benda yang sama setiap tahunnya, mas."
       " Apa? Ah Akang ngawur nih. Lebaran itukan silaturahmi, maaf- maafan, Kang?"  
       " Bukan, Lebaran itu membersihkan kotoran yang tersisa. Kotoran yang tidak terlihat dan bahkan jurteru, kadang- kadang, sekonyong- konyong, muncul di saat Hari Lebaran. Yaitu, sombong, eksis atau Lebay, dusta, munafik, dendam, putus asa, dengki dan banyak lagi. Kita tidak pernah menyadari itu karena hati kita menganggap di Hari itu semua jadi impas." Tutur si Gemuk sambil menyeruput ampas kopi hingga tandas.

       Kali ini aku bertambah bingung, tebakanku yang semula buyar sudah. Mungkin si Gemuk itu Ustad gagal yang jadi Pedagang Ayam, atau Santri yang karena lama menganggur akhirnya jadi pedagang ayam. Bukankah para Santri era ini cerdas dan berwawasan luas juga? Hanya saja lapangan pekerjaannya yang sempit. Tetapi apa mungkin?

       Si Gemuk membayar dan pergi sambil pamit sekenanya pada si Kurus. " Sakit jiwa dia. Dia bisa berpikir begitu karena dia tidak punya siapa- siapa." Gerutu si Kurus sambil mengaduk- aduk mie Instannya.
       " Dia itu tidak gila. Dia juga tidak sebatangkara." Pedagang Pancong angkat bicara.
       " Lha? Kok tadi dia bilang dia tidak punya siapa- siapa?" Tanya si Kurus heran.
       " Dia yatim piatu memang. Tetapi seorang kakaknya adalah pejabat sebuah departemen. Seorang lagi staf ahli di sebuah BUMN. Yang Perempuan bahkan seorang pimpinan diperusahaan MLM."
       " Kok dia cuma jadi pedagang ayam bau dan nelangsa?" Tanya si Kurus kian penasaran. Pedagang Pancong hanya mengangkat bahu dan tenggelam dengan racikan kopi pesanan.

       Tiba- tiba aku merasa kedamaian kian jauh dariku. Lalu aku teringat sebelum keluar rumah tadi sempat mengantungi Ipod. Segera kugunakan musik untuk mematikan dunia diluar panca indraku. Phil Perry dengan "Book of Love" mengalun ke relung kepalaku. Aku ingat perkataanku pada seorang sahabatku yang sangat kaya beberapa hari yang lalu, bahwa orang miskin tidak perlu orang kaya, tetapi orang kaya yang membutuhkan orang miskin. Orang susah tidak membutuhkan orang yang bahagia, tetapi orang yang bahagia membutuhkan orang yang susah. Semua itu tidak lain agar orang Kaya mensyukuri akan kekayaannya dan orang bahagia mensyukuri kebahagiaannya. Agar Tuhan juga mau mengesahkan si kaya dan bahagia itu sebagai hambaNya dengan berkah dan nikmatNya. Dalam lubuk batin, kuakui baru sekarang kalimat itu begitu berarti, padahal sering kuucapkan.

       Aku tidak ingin seperti si Gemuk dan pemikirannya yang terasa tidak nyaman. Meskipun kami punya nasib yang sama, tetapi aku tidak pernah sendiri. Sejak awal sampai perhentian waktuku "mengalir" nanti, aku selalu ditemani, oleh Tuhan yang selalu sayang padaku.

       Selesai sholat Subuh aku merasa lega. Kemiskinan dan Kesendirian padaku ternyata meninggalkan catatan berharganya, yaitu...aku kaya dan bahagia.



Depok 22 Agustus 2010
~oo0oo~

Rabu, 18 Januari 2012

SHORT STORY 1

CINTA SEJATI  ITU...

12 Juni 2010 pukul 0:29

CINTAKU...
Aku duduk bersama mereka yang terluka, menderita, sakit dan kebingungan makan apa esok hari. Bukan mereka yang percaya hari esok adalah milik mereka dan mereka yang kebingungan antara bisnis property atau emas kelebihan uang diinvestasikan esok hari.

Aku duduk bersama mereka yang melihat penderitaan orang lain adalah luka bagi hati mereka jua. Rasa susah, sepi dan tak berdaya adalah berita dari dunia nyata dilembaran harian mereka. Sebab diantara orang- orang seperti inilah KAU menyelinap penuh rahasia. Sebab diantara orang- orang inilah yang ruh mereka adalah nurani. Mereka yang mengajarkanku untuk tidak pernah menjadi Raja atau Nabi setelah menyumbangkan selembar nyawa sendiri demi menolong orang lain.

Aku duduk bersama mereka yang menderita, karena itu adalah pilihan. Dan KAU ada diantara mereka kian terbuka. Aku tidak ingin jadi Raja, Ksatria ataupun Nabi. Aku hanya ingin KAU bangga kepadaku dan kasih sayang yang lebih dari kekasihMU. Sebab itulah cinta yang sesungguhnya cinta. KAUlah cinta sejatiku, tak ada yang lain...
Hanya KAUlah satu- satunya yang mampu membuat air mataku luruh.

Dari Yang MerindukanMU
         -aku- 
 ~o0o~

(Hadist Qudsyi (riwayat Umar RA) "Sesungguhnya Allah telah berkata, jika hambaKU mencari AKU, AKU ada diantara mereka yang fakir, miskin, susah dan menderita")

PESONA DUA PERAWAN

Belum lagi honor desain grafis dan hasil cetaknya  sebuah perusahaan Asuransi International saya terima, nafsu berpetualangan dengan sepeda motor tunggangan sudah menimbulkan gempa tektonik  yang terasa menyenangkan. di dada saya. Adrenalin layaknya gemuruh Niagara diperalihan musim beku dan panas di buluh- buluh tubuh. Deras! Tetapi mau kemanakah saya kali ini? Masih belum jelas. Sampai akhirnya saya menemukan dua tempat yang bikin penasaran ini. Tidak hanya itu saya juga bingung menentukan pilihan, karena keduanya sama cantiknya.

1. Pantai Sawarna Lebak Banten
Sawarna. Mayoritas orang masih awam soal nama itu. Termasuk saya. Sampai hari ini dari surfing dibelantaranya "si mbah" Google saya berlabuh di beberapa laporan perjalanan tentang pantai ini. Bikin jiwa petualang saya tergelitik tak henti.

  Sawarna, merupakan salah satu desa kecamatan Bayah. Fasilitas hotel untuk menginap sudah tersedia. Losmen atau Saung. Bedanya, yang pertama berbentuk rumah permanen biasa, sedangkan yang kedua, berupa rumah panggung dengan dinding anyaman bambu dan lantai kayu. Jarak pantai dari saung relatif lebih dekat, sekitar 200 meter. Uniknya, untuk menjangkau saung, kita harus melintasi jembatan gantung yang di bawahnya mengalir sungai menuju muara di pantai Sawarna. Di sungai itu juga kerap dipakai bermandi oleh bocah setempat
 
 
Rute lain yang bisa ditempuh adalah Jakarta – Tomang – Serang – Pandegelang – Malingping – Bayah – Sawarna, yang ini berjarak tempuh sekitar 260 km dengan waktu tempuh sekitar 7 jam.





 



2. Curug Malela Bandung Barat
Pesona Miniatur GRAND CANYON, Pantaslah kalau harus susah payah untuk mencapainya.
Curug Malela masih dikatakan perawan atau belum terjamah. Kenapa demikian? Hm.. jalanan masih tanah dan bebatuan, belum ada tanda petunjuk untuk sampai ke Curug, serta belum ada retribusi tuk tempat wisatanya. Harus banyak bertanya kepada penduduk untuk mencapai lokasi.

Perjalanan menggunakan kendaraan hanya sampai di hutan pinus saja, kami melanjutkan dengan trekking menurun selama 30 menit melewati jalan setapak yang masih baru. Setelah melewati semak belukar yang tinggi, jurang, serta sawah tadah hujan milik penduduk setempat, akhirnya terdengar gemuruh air terjun dikejauhan. Curug Malela... Ha! Sepertinya saya harus siap menitipkan tunggangan di rumah penduduk setempat sebelum sampai tempat ini.
Menurut Blog resmi Wisata Bandung, bila menggunakan kendaraan umum dari Bandung, perjalanan bisa dimulai dari Terminal Ciroyom menggunakan bis antar kota dengan rute menuju Buni jaya yang melewati Ciroyom, Cililin, Sindang Kerta, Gunung Halu dan Rongga dengan waktu tempuh sekitar 3-4 jam. Atau dari Terminal Leuwi Panjang menggunakan bis dengan jurusan Cimahi atau Cililn, kemudian lanjutkan dengan angkot ke Bunijaya. Sepertinya ini bisa jadi perjalanan yang dramatis bagi saya. Apalagi di Malela belum tersedia penginapan untuk turisme. Tetapi sungguh menantang saudara- saudara.

Kok saya malah jadi semakin bingung. Sayangnya musim order pembuatan foto Pre Wed sudah lewat. Padahal kalau bisa berbarengan kan lumayan, selain biaya ditanggung klien juga tidak sendirian seperti biasanya. Kalau sama rombongan calon penganten bukan turing dan petualangan dong, malah garing jadinya. Ya resiko jomblo keren sih... (lol)

The Chronicles Adventure of Dreams


Hidup seperti aliran sungai. Ada awalan, ada perjalanan dan ada akhiran. Apa yang terjadi sepanjang itu, seringkali kita luput untuk mengambil hikmahnya. Apa yang pernah terjadi, apa yang pernah kita lewati, sering kita lupakan, atau kita pendam,sengaja dilupakan, sehingga menyisakan pertanyaan yang tidak pernah terjawab. Apakah yang tidak menyenangkan menjadi menyedihkan? Apakah kegembiraan menjadi kenangan manis? Atau justeru sebaliknya?
Setiap perjalanan memiliki harapan.  Tidak penting lagi apakah semua akan terwujud atau pupus sama sekali. Ini perjalanan harus tercatat, agar kita tahu makna aliran sungai kehidupan.
Inilah pilihan. Inilah waktu membuka diri. Keluar dari persembunyian yang sekian lama. Bahkan kesuraman malam punya sisi keindahan jua. Semoga orang lain mengerti.

Hiduplah...mengalirlah...apa adanya
walaupun kejujuran itu sering pahit dan menyakitkan...
*** 
Life is like a watershed. There is a prefix, suffix and there is no journey. What happened during it, we often miss to take a lesson. What ever happened, what ever we passed, we often forget, or we are buried, deliberately ignored, thereby leaving the question was never answered. What is not fun to be sad? Is the joy of sweet memories? Or precisely the opposite?

Every journey has a hope. Does not matter anymore whether all will materialize or vanished altogether. This trip should be recorded, so that we know the meaning of the river of life.

This is the choice. This is the time to open up. Out of hiding for so long. Even the gloom of night has the beauty nevertheless. Hopefully someone else understands.




Live ... flows honestly...

although honesty is often bitter and painful ...