PHIL PERRY DI PASAR INPRES DEPOK
Hari ke 27 Romadhon, tengah malam. Perut lapar tetapi terlalu prematur untuk mulai ritual sahur. Nasib yang merogoh saku dan mengeluarkan uang yang cuma sedikit dan yang juga memberitahukan persediaan dapur tinggal segenggam beras dan garam. Nasib pula yang menyeretku berhadapan dengan segelas coklat ovaltine dan kue pancong dibelakang pasar. Seremonial untuk cacing- cacing diperutkupun dimulai. Tidak perduli aroma sampah busuk dan kumuhnya pasar inpres, pukul 1 pagi tempat itu dikunjungi penarik becak dan beberapa pedagang. Mungkin mereka menanti para boss mereka datang dari pasar Induk membawa material dagangan. Mungkin juga mereka sama seperti aku, sekedar membungkam kegelisahan hati dan lambung dengan minuman dan cemilan hangat. Dua tegukan coklat melemahkan pertanyaan tentang kabarnya Skenario dan Novelku di negeri Paman Sam sana. Sekali lagi tegukan meredam keingintahuan apakah perlu rencana untuk esok. Seperti biasanya, kembali contekan pengalaman mengingatkanku "hiduplah dengan mengalir apa adanya, yang penting kita tahu dimanakah perhentian terakhir itu".
Pada saat kue pancong ke dua mulai pasrah menuju mulut, seorang Penarik Becak Kurus bertanya dengan letupan semangat kepada seorang Pedagang Ayam bertubuh gemuk," Masa sih, kamu tidak mudik? Memangnya Lebaran masih ada orang membeli ayam?"
" Aku tidak pernah berjualan di hari Lebaran." Jawab si Gemuk sambil menghembuskan nikotin ke udara. " Lha? Lalu mau apa kamu di pasar? Kan lebih baik pulang ke kampung." Komentar si Kurus angkuh.
" Karena tidak ada tempat tinggal lagi selain di pasar. Lagipula aku lebih suka tidur di atas kurungan ayam dari pada harus pulang kampung," jawab si Gemuk tersenyum sebagai usahanya menimbulkan kesan bahwa pertanyaan si Kurus itu lucu. Sudah jelas bertahun- tahun sudah ia tidak punya tempat tinggal lain kecuali di Los jualannya.
" Jangan begitulah," tanggap si Kurus dengan dialek Tegalnya yang kental," Memangnya kamu tidak mau ketemu orang tua, anak dan keluarga?" Si Gemuk tidak menjawab, ia malah asyik memijat- mijat tombol Telepon Selular murahannya.
" Lebaran itu penting lho, Kang. Lagipula untuk siapa kita bekerja mati- matian siang malam kalau uang itu bukan untuk keluarga?" " Aku tidak punya orang tua, saudara, isteri apalagi anak."
" Pantas!" Tanggap si Kurus cepat dan mengkal.
" Kamu salah, Kang. Sama seperti orang miskin lainnya. Lebaran dianggap sebagai waktunya unjuk ekonomi, saatnya mengukur keberhasilan, saatnya berharap yang tidak semestinya terjadi malah kita jadikan harapan. Lebaran juga di jadikan pemuasan nafsu kegembiraan yang berlebihan, kebahagiaan yang semu, penyuburan kemunafikan. Wajah harus ceria padahal kegetiran menyertai ingatan bahwa betapa kian berat beban hidup setelah hari ini." Gerutu si Gemuk yang membuat aku tersedak dan si Kurus melongo.
Dalam sekejap aku tidak percaya kalau si Gemuk itu cuma pedagang ayam biasa. Mungkin dia mahasiswa yang menyamar. Bahasa begitu tajam dan kritis. Atau mungkin dia pedagang ayam sungguhan tetapi PHK membalikan hidupnya 180 derajat dari seorang karyawan terpelajar menjadi pedagang ayam yang beraroma sengit. Entahlah, yang mana yang benar.
" Aku tidak mengerti maksudmu, Kang? Padahal di hari Lebaran itu kita menunjukan kasih sayang dan cinta terhadap keluarga dan kerabat." Tanya si Kurus dengan nada benci.
" Itulah! Rasa sayang selalu saja di isi dengan tata cara dan benda- benda yang sama setiap tahunnya, mas."
" Apa? Ah Akang ngawur nih. Lebaran itukan silaturahmi, maaf- maafan, Kang?"
" Jangan begitulah," tanggap si Kurus dengan dialek Tegalnya yang kental," Memangnya kamu tidak mau ketemu orang tua, anak dan keluarga?" Si Gemuk tidak menjawab, ia malah asyik memijat- mijat tombol Telepon Selular murahannya.
" Lebaran itu penting lho, Kang. Lagipula untuk siapa kita bekerja mati- matian siang malam kalau uang itu bukan untuk keluarga?" " Aku tidak punya orang tua, saudara, isteri apalagi anak."
" Pantas!" Tanggap si Kurus cepat dan mengkal.
" Kamu salah, Kang. Sama seperti orang miskin lainnya. Lebaran dianggap sebagai waktunya unjuk ekonomi, saatnya mengukur keberhasilan, saatnya berharap yang tidak semestinya terjadi malah kita jadikan harapan. Lebaran juga di jadikan pemuasan nafsu kegembiraan yang berlebihan, kebahagiaan yang semu, penyuburan kemunafikan. Wajah harus ceria padahal kegetiran menyertai ingatan bahwa betapa kian berat beban hidup setelah hari ini." Gerutu si Gemuk yang membuat aku tersedak dan si Kurus melongo.
Dalam sekejap aku tidak percaya kalau si Gemuk itu cuma pedagang ayam biasa. Mungkin dia mahasiswa yang menyamar. Bahasa begitu tajam dan kritis. Atau mungkin dia pedagang ayam sungguhan tetapi PHK membalikan hidupnya 180 derajat dari seorang karyawan terpelajar menjadi pedagang ayam yang beraroma sengit. Entahlah, yang mana yang benar.
" Aku tidak mengerti maksudmu, Kang? Padahal di hari Lebaran itu kita menunjukan kasih sayang dan cinta terhadap keluarga dan kerabat." Tanya si Kurus dengan nada benci.
" Itulah! Rasa sayang selalu saja di isi dengan tata cara dan benda- benda yang sama setiap tahunnya, mas."
" Apa? Ah Akang ngawur nih. Lebaran itukan silaturahmi, maaf- maafan, Kang?"
" Bukan, Lebaran itu membersihkan kotoran yang tersisa. Kotoran yang tidak terlihat dan bahkan jurteru, kadang- kadang, sekonyong- konyong, muncul di saat Hari Lebaran. Yaitu, sombong, eksis atau Lebay, dusta, munafik, dendam, putus asa, dengki dan banyak lagi. Kita tidak pernah menyadari itu karena hati kita menganggap di Hari itu semua jadi impas." Tutur si Gemuk sambil menyeruput ampas kopi hingga tandas.
Kali ini aku bertambah bingung, tebakanku yang semula buyar sudah. Mungkin si Gemuk itu Ustad gagal yang jadi Pedagang Ayam, atau Santri yang karena lama menganggur akhirnya jadi pedagang ayam. Bukankah para Santri era ini cerdas dan berwawasan luas juga? Hanya saja lapangan pekerjaannya yang sempit. Tetapi apa mungkin?
Si Gemuk membayar dan pergi sambil pamit sekenanya pada si Kurus. " Sakit jiwa dia. Dia bisa berpikir begitu karena dia tidak punya siapa- siapa." Gerutu si Kurus sambil mengaduk- aduk mie Instannya.
" Dia itu tidak gila. Dia juga tidak sebatangkara." Pedagang Pancong angkat bicara.
" Lha? Kok tadi dia bilang dia tidak punya siapa- siapa?" Tanya si Kurus heran.
" Dia yatim piatu memang. Tetapi seorang kakaknya adalah pejabat sebuah departemen. Seorang lagi staf ahli di sebuah BUMN. Yang Perempuan bahkan seorang pimpinan diperusahaan MLM."
" Kok dia cuma jadi pedagang ayam bau dan nelangsa?" Tanya si Kurus kian penasaran. Pedagang Pancong hanya mengangkat bahu dan tenggelam dengan racikan kopi pesanan.
Tiba- tiba aku merasa kedamaian kian jauh dariku. Lalu aku teringat sebelum keluar rumah tadi sempat mengantungi Ipod. Segera kugunakan musik untuk mematikan dunia diluar panca indraku. Phil Perry dengan "Book of Love" mengalun ke relung kepalaku. Aku ingat perkataanku pada seorang sahabatku yang sangat kaya beberapa hari yang lalu, bahwa orang miskin tidak perlu orang kaya, tetapi orang kaya yang membutuhkan orang miskin. Orang susah tidak membutuhkan orang yang bahagia, tetapi orang yang bahagia membutuhkan orang yang susah. Semua itu tidak lain agar orang Kaya mensyukuri akan kekayaannya dan orang bahagia mensyukuri kebahagiaannya. Agar Tuhan juga mau mengesahkan si kaya dan bahagia itu sebagai hambaNya dengan berkah dan nikmatNya. Dalam lubuk batin, kuakui baru sekarang kalimat itu begitu berarti, padahal sering kuucapkan.
Aku tidak ingin seperti si Gemuk dan pemikirannya yang terasa tidak nyaman. Meskipun kami punya nasib yang sama, tetapi aku tidak pernah sendiri. Sejak awal sampai perhentian waktuku "mengalir" nanti, aku selalu ditemani, oleh Tuhan yang selalu sayang padaku.
Selesai sholat Subuh aku merasa lega. Kemiskinan dan Kesendirian padaku ternyata meninggalkan catatan berharganya, yaitu...aku kaya dan bahagia.
Depok 22 Agustus 2010
Kali ini aku bertambah bingung, tebakanku yang semula buyar sudah. Mungkin si Gemuk itu Ustad gagal yang jadi Pedagang Ayam, atau Santri yang karena lama menganggur akhirnya jadi pedagang ayam. Bukankah para Santri era ini cerdas dan berwawasan luas juga? Hanya saja lapangan pekerjaannya yang sempit. Tetapi apa mungkin?
Si Gemuk membayar dan pergi sambil pamit sekenanya pada si Kurus. " Sakit jiwa dia. Dia bisa berpikir begitu karena dia tidak punya siapa- siapa." Gerutu si Kurus sambil mengaduk- aduk mie Instannya.
" Dia itu tidak gila. Dia juga tidak sebatangkara." Pedagang Pancong angkat bicara.
" Lha? Kok tadi dia bilang dia tidak punya siapa- siapa?" Tanya si Kurus heran.
" Dia yatim piatu memang. Tetapi seorang kakaknya adalah pejabat sebuah departemen. Seorang lagi staf ahli di sebuah BUMN. Yang Perempuan bahkan seorang pimpinan diperusahaan MLM."
" Kok dia cuma jadi pedagang ayam bau dan nelangsa?" Tanya si Kurus kian penasaran. Pedagang Pancong hanya mengangkat bahu dan tenggelam dengan racikan kopi pesanan.
Tiba- tiba aku merasa kedamaian kian jauh dariku. Lalu aku teringat sebelum keluar rumah tadi sempat mengantungi Ipod. Segera kugunakan musik untuk mematikan dunia diluar panca indraku. Phil Perry dengan "Book of Love" mengalun ke relung kepalaku. Aku ingat perkataanku pada seorang sahabatku yang sangat kaya beberapa hari yang lalu, bahwa orang miskin tidak perlu orang kaya, tetapi orang kaya yang membutuhkan orang miskin. Orang susah tidak membutuhkan orang yang bahagia, tetapi orang yang bahagia membutuhkan orang yang susah. Semua itu tidak lain agar orang Kaya mensyukuri akan kekayaannya dan orang bahagia mensyukuri kebahagiaannya. Agar Tuhan juga mau mengesahkan si kaya dan bahagia itu sebagai hambaNya dengan berkah dan nikmatNya. Dalam lubuk batin, kuakui baru sekarang kalimat itu begitu berarti, padahal sering kuucapkan.
Aku tidak ingin seperti si Gemuk dan pemikirannya yang terasa tidak nyaman. Meskipun kami punya nasib yang sama, tetapi aku tidak pernah sendiri. Sejak awal sampai perhentian waktuku "mengalir" nanti, aku selalu ditemani, oleh Tuhan yang selalu sayang padaku.
Selesai sholat Subuh aku merasa lega. Kemiskinan dan Kesendirian padaku ternyata meninggalkan catatan berharganya, yaitu...aku kaya dan bahagia.
Depok 22 Agustus 2010
~oo0oo~